Jumat, 24 April 2009

Makna Sebuah Pendidikan


Essensinya makna sebuah pendidikan adalah bagaimana memanusiakan manusia yaitu perkembangan untuk menjadi manusia yang dewasa, bermoral, intelektual, populis, kritis dan juga independen. Namun yang terjadi saat ini, munculnya paradigma pembangunanisme akhirnya telah menggeser semua paradigma tersebut, dimana pendidikan dijadikan sebuah alat yang hanya sekedar menciptakan tenaga-tenaga kerja guna menyukseskan pembangunanisme itu sendiri.
Ditingkatan universitas ketika pendidikan diciptakan/ diarahkan untuk menyukseskan pembangunanisme, maka yang terjadi adalah mulai digesernya nilai-nilai kebenaran, keadilan dan intelektualitas oleh jargon-jargon pola pikir yang seragam yaitu mahasiswa yang pandai adalah mahasiswa yang bisa lulus cepat, pragmatis, nilai IP yang tinggi dan seabrek jargon pembangunanisme yang lainnya. Karena pada dasarnya industrialisasi hanya menampung dan membutuhkan mahasiswa yang siap pakai/ tenaga kerja yang siap pakai, terampil, dan taat pada perintah atasan tanpa harus membutuhkan pemikiran yang kritis, konseptual dan intektual yang tinggi.
Pertentangan dua paradigma diatas telah meletakkan pendidikan pada posisi yang sulit, dimana hal itu menciptakan perkawinan antara kedua paradima tersebut dimana salah satunya pasti ada yang dominan (paradigma pembangunan) yang mengesankan bahwa dari luar tampak sperti sebuah bungkus baru pendidikan. Namun yang terjadi bukan sebuah proses humaniora, melainkan sebuah proses penciptaan tenaga kerja terampil lewat mekanisme penyeragaman berfikir, indoktrinasi dan lain sebagainya. Karena manusia diposisikan sebagai sama seperti sebuah komoditi barang yang harus diproduksi secara seragam tanpa harus direnungkan kembali berguna atau tidak, jika berguna jelas dibanggakan dan jika tidak berguna bukankah masih diloakkan ?”
Selain itu ketika pendidikan tinggi pada khususnya diarahkan untuk menciptakan tenaga-tenaga terampil maka akhirnya orientasi pendidikan yang adapun menjadi berubah pula. Sehingga materi yang tertuang didalam kurikulum-kurikulum yang ada juga mengikuti paradigma tersebut, semisal pemberlakuan kurikulum SKS maupun semester pendek yang mana substansinya adalah “arah pendidikan disesuaikan untuk menciptakan atau mengarahkan produk-produk pendidikan sebagai tenaga ahli dan terampil yang siap menjalankan roda industri pembangunan”.
Namun yang terpenting disini adalah orientasi pembangunan ekonomi telah membuat subsidi pendidikan menjadi sangat minim, yang akibatnya membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Mahalnya biaya pendidikan ini mengakibatkan semakin sulitnya masyarakat kelas bawah untuk menikmati pendidikan tinggi pada khususnya, yang mana hal itu memungkinkan bagi mereka untuk terlibat dalam upaya perubahan struktur sosial masyarakat. Hal ini juga secara otomatis membuat lapangan pekerjaan nantinya hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah keatas yang benotabene sarjana. Akhirnya kalau kita melihat peran sistem pendidikan tinggi nantinya hanyalah merupakan sebuah upaya untuk melanggengkan kekuasaan yang menindas dan mendukung sebuah komunitas sosial yang asing dengan masyarakat bawah.
Dalam lingkungan kampus swasta seperti UMY, minimnya subsidi pendidikan saat ini dijadikan alasan untuk terus mengembangkan kejayaan-kejayaan kampus itu sendiri semisal dengan menambah kapasitas mahasiswa dengan jumlah uang sumbangan pendidikan mahsiswa baru yang terus naik. Dimana itu nantinya berdampak :
Pertama, kecenderungan pertambahan / percepatan jumlah mahasiswa tidak seimbang dengan kualitas dan kuantitas dosen, laboraturium, perpustakaan dan lain sebagainnya.
Kedua, kentalnya orientasi bisnis membuat mahasiswa seolah-olah layak dibebani dengan ambisi universitas dalam mengembangkan simbol-simbol kejayaan kampus yang dapat dijadikan komoditi menarik bagi lulusan SLTA.
Ketiga, demi kebutuhan dana yang besar, maka target jumlah mahasiswa dipatok kaku. Sehingga bukan ukuran standar kualitas yang dipakai melainkan ukuran target jumlah mahasiswa yang dikejar guna memperoleh pemasukan keuangan.
Keempat, jumlah mahasiswa yang berjubel mengakibatkan beratnya pengurus-pengurus fakultas untuk mengelola mahasiswanya. Akhirnya dipikirkanlah cara-cara agar bagaimana mempercepat kelulusan mahasiswa. Maka keluarlah idiom-idiom bahwa mahasiswa yang pandai adalah mahasiswa yang lulus cepat, penghargaan hanuya layak bagi mahasiswa yang mempunyai nilai IP yang tinggi dan sebagainya. Yang selanjutnya lahirlah ide semester pendek sebagai terobosan baru yang malah justru akhirnya hal tersebut laris-manis dikalangan mahasiswa.
Dari situ maka sebenarnya dapat sedikit mengambil kesimpulan dari semua itu bahwasannya “pendidikan humaniora bukanlah sebuah pendidikan kejuruan yang bisa dilakukan dengan waktu yang singkat, melainkan sebuah proses panjang yang nantinya akan menciptakan sebuah manusia yang seutuhnya”.(Education In The Humanities, Drost, SJ, 1998 : 191)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar