Jumat, 24 April 2009

MISTERI ABSENSI 75%


75 adalah angka yang sangat sakral di UMY. 75 merupakan sebuah momok menakutkan bagi seluruh mahasiswa. Bila di film horror ada bangsal 13, maka di UMY ada yang namanya Absensi 75% atau mungkin buku maut:absensi book 75%. 75 benar-benar mengharuskan mahasiswa untuk selalu berada di kampus. Angka 75 juga memberikan jurus maut pada dosen yang dapat mengakhiri riwayat mahasiswa, yaitu jurus DO.75 benar-benar angka sakral yang sangat sakti. Namun kenapa tiba-tiba kita (mahasiswa) harus benar-benar patuh pada angka 75,sebenarnya sejak kapan ia muncul, siapa pencetusnya dan kenapa harus ada peraturan seperti ini dan yang lebih penting lagi apakah memang peraturan ini berguna bagi perkembangan intelektualitas mahasiswa?
Hal ini sebenarnya berawal sejak jaman dahulu kala ketika orde baru mengawali debutnya untuk memakmurkan Indonesia dengan korupsi, kolusi, abrasi (pengikisan daratan oleh air laut akibat hilangnya bakau), erosi (akibat dari penggundulan hutan), polusi (akibat pembakaran hutan), nepotisme, pragmatisme (sifat yang memakmurkan korupsi). Pada waktu itu, pemerintah khawatir melihat tingkah laku mahasiswa yang kritis mengkritisi kebijakan orde baru yang tidak memihak kepada rakyat. Seperti peristiwa MALARI (demo besar-besaran mahasiswa menentang penanaman modal asing). Soeharto (presiden pada saat itu ) takut terhadap adanya kemungkinan konsolidasi mahasiswa yang akan menggoyang kekuasaannya. Oleh karena itu sikap kritis mahasiswa harus dibungkam. Pemerintah kemudian mencetuskan ide brilliant yang bernama NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) yang didalamnya mengatur banyak hal tentang mahasiswa, salah satunya adalah absensi 75 % dan mekanisme DO. Disinilah awal mula berlakunya death number 75%. Mungkin temen – temen ada yang bingung kenapa 75% bisa membungkam pikiran kritis mahasiswa, bukanya malah bagus kalo sering masuk kuliah dapat menambah wawasan terus bisa cepet lulus jadi nggak perlu bayar-bayar lagi uang kuliah, SKS dan seterusnya. Itu emang ada benernya, tapi ada beberapa hal yang harus dicermati kembali.
Bukannya kita sering mendengar istilah bahwa mahasiswa adalah agent of change yang tugasnya berfikir dan menemukan hal baru yang berguna untuk masyarakat. Itu berarti mahasiswa adalah social agent yang seharusnya dapat berperan lebih banyak untuk kehidupan masyarakat. Namun bagaimana kita bisa menemukan hal baru yang berguna bagi masyarakat bila harus selalu berada di kampus (absensi 75%!!!) dan 25% waktu sisanya untuk mengerjakan tugas kuliah. Kita tidak memiliki waktu untuk berbaur dengan masyarakat sekitar sehingga bagaimana bisa kita menjadi agent of change, itu hanyalah dongeng isapan jempol yang sama sekali tidak masuk akal dan hanya menjadi mimpi indah di masa lalu. Dengan adanya absent 75% kita malah merasa terpisah dengan kehidupan masyarakat, merasa terasing dengan masyarakat yang seharusnya kita berperan untuk mereka alih-alih malah timbul penilaian buruk dari masyarakat kepada mahasiswa seperti, mahasiswa bisane pacaran tok, ra iso ngopo2.
Dan juga apakah temen-temen dapat menerima jika tingkat intelektualitas kita hanya diukur lewat absensi. Misalnya,kita sudah belajar keras, membaca buku sebanyak-banyaknya dan mengerjakan seluruh tugas yang diberikan tapi suatu ketika keluarga kita dikampung halaman ada yang sakit dan kita harus datang menjenguk dan kita terpaksa tidak masuk kuliah, kemudian terdengar kabar bahwa kita di DO. Hal ini sangatlah kejam dan tidak berperasaan. Kemudian ketika temen-temen lulus bukankah kita harus mencari kerja dan tempat kita mencari pekerjaan adalah di lingkungan masyarakat yang selama ini kita mengalami keterasingan darinya. Mungkin itulah salah satu sebab mengapa banyak mahasiswa menganggur.
Kemudian bila saya diminta untuk menilai kampus maka saya mungkin akan memberikan nilai yang sangat buruk terhadapnya. Penilaian tersebut dikarenakan beberapa hal. Apakah pernah terlintas di benak teman-teman bahwa kampus adalah pabrik yang paling tidak bertanggung jawab. Biasanya pabrik-pabrik bila telah menghasilkan produknya maka mereka akan segera mendistribusikannya ke seluruh penjuru supaya produk mereka dapat terpakai dan berguna. Seperti contohnya pabrik Coca-Cola. Bila mereka menghasilkan 1 juta botol minuman maka mereka akan mendistribusikan produknya ke masyarakat. Tapi apakah kampus pernah melakukan hal serupa pada produk (mahasiswa S1) yang mereka hasilkan? Ketika kampus menghasilkan (mewisuda) 1000 mahasiswa yang lulus S1 maka selanjutnya ia akan lepas tangan terhadap nasib para wisudawan dan wisudawati di masa depan. Apakah kampus pernah perduli pada nasib sekian belas ribu nasib para wisudawan mereka? padahal setelah mereka mewisuda lulusannya maka pikiran mereka hanya tertuju pada bagaimana menjaring mahasiswa baru lebih banyak untuk menambah profit. Seperti saya bilang diatas, kampus adalah pabrik yang paling tidak bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkannya.
Lalu bagaimana selanjutnya nasib kita para mahasiswa selanjutnya, yang jelas saya sering mendengar dari banyak temen-temen saya yang telah lulus bahwa IP (Indeks Prestasi) akan menjadi kurang berguna untuk mencari pekerjaan nantinya. Apakah kita sudah siap untuk terjun sendirian tanpa bantuan dari kampus (padahal selama ini kita sudah memberikan profit yang tidak sedikit untuk kampus) dan tanpa pengalaman bermasyarakat sebelumnya? Bagaimanakah masa depan kita nantinya?

By: Parjo gemar membaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar