Rabu, 01 April 2009

GOLPUT Pilihan Rakyat Kuasa


Sejak Mei 2008 yang lalu negeri Indonesia telah memasuki tahapan pemilu, dimana tahapan awal pemilu dimulai dari pemilihan gubernur dan pemda di beberapa daerah. Namun kali ini, pemilu yang dikatakan banyak kalangan sebagai panggung demokrasi, kembali lagi menuai kekecewan. Dimana banyak masyarakat dalam wilayah pemilihan, tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon gubernur maupun pemda setempat. Mereka justru menentukan pilihannya untuk GOLPUT.

“Gambaran golput merata, di DKI, golput mencapai 37%, Jabar, golput mencapai 40%, Jateng, golput mencapai 45.25%, Jatim, golput di putaran kedua mencapai 34-40%, Sumut, golput mencapai 40%, Sumsel, golput mencapai 29%, Sumbar golput mencapai 35,70%, Riau, golput mencapai 40%, Kaltim, golput mencapai 42-50%, di putaran kedua, di Kalbar, mahasiswa Kalbar menyerukan golput, Bali, golput mencapai 25%, dan Sulsel, pilkada di wilayah itu dimenangkan golput, karena Yasin Limpo, yang menang hanya memperoleh suara, 1.432.572 (39.53%), sedangkan yang tidak memilih, sebesar 1.596.825” (EraMuslim, Selasa, 11/11/2008).

Mendekati puncak tahapan pemilu di bulan april 2009 mendatang, dimana pelosok nusantara diwarnai hingar bingar kampanye partai politik yang menawarkan tokoh dan janji-janji politik yang mereka ajukan, isu golput masih menjadi opini publik yang berkembang pesat di kalangan masyarakat. Tak hanya masyarakat kantoran, masyarakat angkringan pun ramai membicarakan pilihan untuk golput dalam pemilu mendatang. Bahkan banyak survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey maupun media menunjukkan adanya kemungkinan peningkatan golput pada pemilu 2009 dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Dimana memang angka golput mengalami peningkatan dari pemilu ke pemilu berikutnya. Tmgkat

“Golput dalam pemilu : pemilu 1971 : tingkat golput 6,67%, pemilu 1977 : tingkat golput 8,40%, pemilu 1982 : tingkat golput 9,61%, pemilu 1987 : tingkat golput 8,39%, pemilu 1992 : tingkat golput 9,05%, pemilu 1997 : tingkat golput 10,07%, pemilu 1999 : tingkat golput 10,40%, pemilu 2004 : tingkat golput 23,34%” (Tjahyo Rawinarno, newblueprint.wordpress.com,17/01/2008).

Mahasiswa sering kali dikatakan sebagai kaum intelektual, memiliki kewajiban atas rasionalisasi golput dalam pemilu 2009 kepada masyarakatnya. Dimana dengan rasionalisasi yang mampu tersampaikan kepada masyarakat dan dipahami secara menyeluruh, pilihan golput tidak lagi menjadi pilihan karena kebingungan atas kesemrawutan politik ataupun pilihan untuk menampung keapatisan masyarakat. Namun, pilihan yang disandarkan pada pemahaman atas sejarah, idealitas, dan realitas atas situasi yang ada. Sehingga, banyaknya golongan putih dalam pemilu 2009 mendatang diharapkan bisa terkonsolidasikan dan terorganisir, yang mampu menjadi kekuatan politik dalam penentuan kebijakan pemerintah di masa paska pemilu 2009.
GOLPUT, bukanlah hal baru dalam kancah perpolitikan Indonesia. Isu golput muncul menjadi opini publik pertama kali pada masa mendekati pemilu 1971. Dimana pada masa itu, situasi perpolitikan negeri ini tidak ada kemungkinan dan kesempatan yang terbuka untuk mengeluarkan dan menyalurkan aspirasi politik yang menjadi konsekuensi atas pemerintahan yang otoriter ORBA. Dalam situasi tersebut, munculah golongan masyarakat yang tidak puas dan menganjurkan untuk tidak ikut memilih atau menusuk bagian putih saja diantara sepuluh tanda gambar yang tersedia. Mereka juga juga menganggap pemilu hanya formalitas belaka dan tidak ada partai yang pantas untuk dipilih. Salah satu tokoh penganjur golput di era kemunculannya adalah Arief Budiman. (B.N. Marnun, SH, Kamus Politik 2005)
Ironis jika melihat situasi hari ini menjelang pemilu 2009, dimana telah sepuluh tahun reformasi berlalu, yang berarti juga telah terjadi beberapa kali pemilu untuk menentukan pemimpin bangsa, tetapi belum juga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa yang akut. Reformasi yang telah menurunkan rezim yang mengekang demokrasi, ternyata telah menghantarkan kita pada iklim politik yang liberal. Konteks demokrasi menjadi semata-mata liberalisasi politik yang tidak terkendali. Memberi ruang kepada siapa saja yang punya modal cukup untuk menjadi tokoh politik, bahkan tanpa track record politik yang cukup baik bahkan cenderung buruk. Dampak dari liberalisasi ini adalah dijadikannya politik sebagai lahan untuk mencari penghidupan. Bila ini yang terjadi bisa kita bayangkan bagaimana kehidupan bangsa Indonesia mendatang.
Selain ketidakjelasan partai politik dan tokoh yang diajukan dalam pemilu 2009, akibat liberalisasi politik, sikap golput masyarakat juga ditentukan oleh situasi ekonomi bangsa yang mana masih berada dalam kemelaratan dan kesengsaraan. Sebab musabab dari kemelaratan ini adalah liberalisasi ekonomi yang telah berlangsung berpuluh tahun lamanya, dimana sumberdaya alam diserahkan begitu saja kepada modal asing. Praktis tidak ada lagi kedaulatan kita atas aset-aset asing tersebut yang setiap waktu melakukan eksploitasi di atas tanah air kita. Bergeser pada ranah budaya, kurang liberal apa generasi muda kita sekarang yang selalu disuguhi tontonan yang selalu “menggembirakan” dan “menyenangkan”. Pendidikan kita juga nampaknya tidak lepas dari fenomena ini, tingginya biaya pendidikan yang tidak disertai berkualitasnya kurikulum yang diberikan adalah imbas dari liberalisasi pendidikan yang pada dasarnya sedang mencetak tenaga produktif terpelajar (baca: buruh).
Sekian gejala liberalisasi ini merupakan sebuah hal yang wajar ketika kita menyadari posisi negara kita di tengah pergaulan internasional yang berada di posisi semikolonial. Kedaulatan politik menjadi hal yang mustahil dalam posisi semikolonial. Dan pada dasarnya desakan untuk menerapkan kebijakan yang liberal berasal dari kekuatan-kekuatan itu. Pada tataran paling bawah, masyarakat justru menjadi objek liberalisasi. Praktek penggusuran, peranpasan tanah, PHK massal adalah beban yang harus ditanggung masyarakat kita. Bahkan jauh lebih dahsyat adalah biaya sosial yang harus mereka keluarkan. Dis-harmonis antara satu kelompok dengan kelompok yang lain adalah ancaman terbesar yang harus kita hadapi dan lagi-lagi harus ditanggung masyarakat kita. Penghidupan yang layak semakin sulit didapat, barisan pengangguran memenuhi sudut kota dan desa, lebih ieonisnya agama dijadikan pembenar atas tindakan yang jelas-jelas salah.
Lalu dimanakah partai politik ? Dimana parlemen ? Dimana pemerintah yang seharusnya menjadi protektor dan pengayom masyarakat ?. Sekali lagi demokrasi bukan hanya banyak partai, demokrasi adalah pikiran rasional dan sadar masyarakat atas sikap politik mereka atas situasi yang hari ini sedang menghimpit. Demokrasi adalah kritisisme dimana pengetahuan adalah konsumsi publik dan pilihan politik diambil. Pada titik inilah seharusnya GOLPUT kita maknai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar