Jumat, 15 Mei 2009

HARI PENDIDIKAN NASIONAL: BEREFLEKSI BESAR KAUM INTELEKTUAL

Hakikat pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Hakekat ini menjadi tumpuan dimana kaum terdidik/ intelektual disebut sebagai “agent of change”, agen yang mampu mengubah realitas sosial atas proses ketertindasan baik bagi ketertindasannya sendiri maupun ketertindasan di lingkungan sosialnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan menjadi salah satu isu penting yang saat ini sering dibicarakan. Degradasi atas daya kritis wacana dalam membaca realitas sosial yang terjadi saat ini cukup memasung kaum intelektual [khususnya mahasiswa] yang seharusnya menjadi agen perubahan, justru memperkuat sistem kapitalisme yang hari ini menghisap kesadaran rakyat. Degradasi yang terjadi saat ini tidak terlepas dari kepentingan negara yang memegang otoritas sentral bagaimana mengarahkan dunia pendidikan mampu menjawab permasalahan sosial yang saat ini menjadi kendala di kehidupan berbangsa dan bernegara.
Didalam sejarah indonesia dengan jelas mencatat bagaimana kaum intelektual menjadi sentral perubahan dan melahirkan revolusi kemerdekaan indonesia 1945. kemunculan pendidikan “formal” yang lahir dari kebijakan politik etis pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, yang awalnya merupakan politik penguasaan pemerintah belanda terhadap daerah koloninya, mampu melahirkan individu-individu manusia yang sadar atas ketertindasan yang terjadi. Mereka berbalik melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial hindia-belanda untuk membebaskan rakyat dari proses eksploitasi dari pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda dan mewujudkan kemerdekaan 100%.
Salah satu diantaranya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau biasa disebut Ki Hadjar Dewantara [2 Mei 1889-26 April 1959], yang hari lahirnya di jadikan sebagai hari pendidikan nasional. Ia merupakan sosok pejuang kemerdekaan yang sadar atas fungsi dari pendidikan dan mampu mendirikan “Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa” atau Perguruan Nasional Tamansiswa [3 Juli 1922] sebagai antitesis dari pendidikan belanda saat itu. Taman siswa suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda pada saat itu. Semboyannya yang cukup terkenal sampai hari ini dalan bahasa jawa adalah ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung").
Namun, cita-cita besar itu musnah ketika kita memandang realitas hari ini. Munculnya kebijakan pendidikan [NKK/BKK, UU SISDIKNAS, Perpres 76 dan 77, dan UU BHP] cukup mengukung kesadaran, dan menghancurkan daya kritis serta keberpihakan kaum intelektual terhadap realitas sosialnya. Jika ditelusuri ternyata kebijakan-kebijakan tersebut tidak murni lahir dari Negara Indonesia sendiri, melainkan muncul melalui negosiasi politik antara negara dan modal internasional [IMF, World Bank, WTO]. Artinya kebijakan yang lahir tidak pernah tersambungkan dengan kebutuhan didunia pendidikan sendiri dan menjadi bumerang bagi dinamika pendidikan.
Hari pendidikan nasional yang seharusnya menjadi refleksi besar atas realitas yang terjadi di dunia pendidikan hanya menjadi moment ceremonial saja, isu-isu penting yang mampu mengubah realitas pendidikan tidak pernah dianggap sebagai hal yang fundamental. Sebagai kaum intelektual yang sadar, seharusnya mampu mendorong perubahan yang terjadi demi terwujudnya kemerdekaan 100%. Dari artikel kecil serta forum-forum diskusi kecil hingga sebuah organisasi yang revolusioner disanalah agen perubahan akan terlahir.(bim2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar